Currently My Favorite Song

Posted by Tony , Minggu, 15 Mei 2011 22.35



This song can take me coolly.
Kings Of Convenience is the best!
:)
I like this part of the lyric :

"Even if I could hear what you said,
I doubt my reply would be interesting
for you to hear.
Because I haven't read a single book all year,
and the only film I saw,
I didn't like it at all.

I'd rather dance than talk with you.
I'd rather dance than talk with you.
I'd rather dance than talk with you."

The Tight Black on the Wide White

Posted by Tony , 22.08

Waktu saya masih SMA, saya menyaksikan sebuah adegan film yang menurut saya cukup inspiratif. Saya lupa judul film tersebut, itu adalah film asia, dari Jepang kalau tidak salah.
Jadi begini adegannya:

Ada dua orang, yang satu sedang dalam masalah besar dan dia merasa sangat terpukul dengan masalah tersebut, sebut saja si A. Sedangkan yang satunya, sebut saja si B, dia merasa bahwa dia harus bisa meringankan beban temannya itu. Kemudian si B mengeluarkan selembar kertas putih dan sebuah pena. Dia membuat sebuah titik dengan pena yang bertinta hitam itu tepat di tengah lembaran kertas itu. Kemudian disodorkannya kertas itu kepada si A sambil bertanya, “Apa yang kamu lihat?” Tanpa lama-lama berpikir, si A menjawab, “Satu titik warna hitam saja. Kenapa?”

Sambil tersenyum seolah hari itu dia akan menjadi manusia paling bijak di dunia, si B menjawab, “Mengapa kamu cuma melihat titik hitamnya saja? Aku tidak bertanya apa yang aku tulis dengan pena ini, tetapi aku bertanya “apa ini”, termasuk kertas yang aku perlihatkan ke kamu.” Pernyataan si B cukup menarik perhatian si A, dia mulai menunjukkan raut muka yang sedikit bingung. Lalu si B meneruskan omongannya, “Mengapa kamu tidak melihat bahwa ini adalah kertas putih yang terdapat satu titik hitam yang kecil di atasnya? Begitu mudah kamu melihat titik hitam di atas kertas putih ini, padahal itu cuma setitik dan sangat kecil. Tapi kamu justru tidak melihat bagian dari permukaan kertas ini sebagian besar masih putih dan belum ternodai oleh tinta yang hitam. Sangat luas dibandingkan dengan titik itu. Jadi, inilah yang sedang menimpa kamu dan apa yang kamu persepsikan terhadap masalahmu.”





Karena si A memiliki kemampuan analogi yang cukup kuat, maka dia langsung bisa mengerti apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh temannya tersebut. Ya, dia hanya melihat sisi negatif dari masalah yang dia hadapi, tapi dia justru lupa terhadap sisi positifnya yang justru lebih banyak. Maka, dalam melihat suatu kejadian, sebaiknya kita benar-benar berpikir. Maksudnya, kita berpikir secara menyeluruh, jangan terlalu picik dan sempit. Banyak orang yang ketika menghadapi masalah, mereka cenderung malas untuk memikirkannya secara luas, atau mereka terjerumus untuk merasakan penderitaan dan berharap belas kasihan dari orang lain. Bahkan ada yang mencoba lari dari masalah itu karena dia adalah “pencari kebahagiaan”. Semua itu hanya akan memupuk kebodohan manusia. Maka, yakinlah kita mampu menemukan sisi positif dari masalah tersebut jika kita mau berpikir dan yakinlah kita menjadi manusia tangguh yang mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan berusaha keras dan berdoa.

Siapa Itu Kartini?

Posted by Tony , Minggu, 01 Mei 2011 02.01

http://img440.imageshack.us/img440/7876/kartini11.jpg

Kira-kira sehari atau 2 hari sebelum perayaan hari Kartini (21 April) kemarin saya banyak membaca berita atau event dalam rangka menyambut hari Kartini. Dan yang paling menarik perhatian saya adalah perayaan hari Kartini di SMA-SMA Indonesia. Mungkin anda pun sudah tahu, siswa/i di berbagai SMA di Indonesia diwajibkan (atau entah hanya disarankan saja, saya tidak tahu pasti) menggunakan pakaian tradisional. Nampak menarik, meriah, dan unik tentunya, dan saya mengakuinya. Jarang-jarang mereka menggunakan pakaian adat tradisional seperti ini. Namun, saya melihat ada yang salah di sini.

                Kita semua tahu bahwa:
1. Kartini adalah simbol perjuangan hak-hak wanita.
2. Siswa SMA menggunakan pakaian tradisional untuk merayakan hari Kartini.

Sekarang anda hubungkan kedua kalimat tersebut, anda analogikan kedua kalimat tersebut. Pikirkan dan pertimbangkan pertanyaan saya ini:

KENAPA UNTUK MEMPERINGATI PEJUANG HAK-HAK WANITA, KITA DIWAJIBKAN MENGGUNAKAN PAKAIAN TRADISIONAL? APA HUBUNGANNYA ANTARA HAK-HAK WANITA DENGAN PAKAIAN TRADISIONAL?

Pertanyaan itu terus mengisi otak saya saat itu. Mengapa? Apa maksud dibalik kebijakan ini? Apakah Kartini adalah perancang busana atau penemu pakaian tradisional (maaf, ini terlalu ekstrim mungkin)? Apakah Kartini adalah orang yang memiliki kontribusi yang sangat besar dalam melestarikan budaya nasional? Sekali lagi, apa hubungannya hak wanita dengan pakaian tradisional? Bahkan di SMA teman saya, diadakan lomba menyanyi segala. Kartini bukanlah penyanyi atau komposer (maaf, yang ini cuma bercanda saja. hahaha). 

Bayangkan anda menjadi guru dan saya adalah murid anda yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jika anda menjawab, “Ya kapan lagi Nak kita menggunakan pakaian tradisional? Ini kan bisa sebagai sarana melestarikan budaya.” Maaf menurut saya itu bukan merupakan jawaban, anda tidak bisa menjawab sebenarnya. Sekali lagi maaf.

Saya tidak sedang menganjurkan untuk meninggalkan tradisi,  namun saya hanya berusaha membuka wacana diskusi tentang sebuah kebijakan tanpa landasan yang relevan. Inilah pendidikan di negri kita. Dan ada yang salah dengan pendidikan di negri tercinta kita ini. Murid tidak pernah diajarkan “mengapa” tapi “apa” pada awalnya. Saya tahu maksudnya baik, yaitu untuk melestarikan budaya, tapi kenapa menggunakan cara yang salah, seolah kita tidak tahu siapa itu Kartini, seolah kita tidak memahami apa jasa beliau. Mungkin akan lebih tepat jika kebijakan ini diterapkan ketika Hari Sumpah Pemuda, misalnya. Kita sulit mengembangkan apa yang kita dapatkan karena kita tidak pernah tau pasti mengapa kita mendapatkan itu. Kata sahabat saya, kita belajar banyak ilmu, teori, konsep, dan lain-lain tanpa didahului dengan belajar filsafat sebagai mother of science atau diajarkan perpikir filosofis pada awalnya. Saya setuju dengan pendapat itu, walaupun saya masih tingkat pemula untuk ilmu filsafat. Orang akan diajak untuk kritis menciptakan pertanyaan-pertanyaan kejadian hidup di sekitarnya untuk mendapatkan jawaban demi mencapai sebuah kebijaksanaan hidup.

Bagaimana dengan pendapat anda?

Di Bawah Pohon Asmara

Posted by Tony , 01.55


http://www.naiwe.com/images/under-tree%28c%29Irochka-dt_3085501.jpg

Menjalin hubungan asmara dengan orang yang kita sayangi itu memang sangat menyenangkan. Seolah menerbangkan kita ke surga imajinasi di mana hanya ada kita dan pasangan kita yang sedang menanam benih-benih pohon asmara yang tak akan pernah tumbang. Namun, kita kadang melupakan dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Banjir besar, halilintar, angin topan, gempa bumi, dan bahkan gunung meletus akan sangat mudah menumbangkan pohon asmara tersebut seketika. Lalu apa yang akan kita lakukan ketika pohon itu tumbang? Mencari pohon yang lain agar kita tetap terindangi atau mencoba menegakkan pohon tersebut atau mencoba mencari sisa-sisa buah agar kita bisa menanam bijinya? Ini adalah sebuah pelajaran, pemaknaan, dan pilihan.

Sudah hampir seminggu semenjak tumbangnya pohon tersebut menimpaku. Menyesal? Jelas iya. Sedih? Itu wajar. Tegar? Harus. Belajar? Ini yang paling penting. Aku sempat memprediksi bahwa pohon itu akan tumbang sebenarnya. Tapi belum sempat terpikir apa yang akan aku lakukan jika telah datang masa itu. Mungkin aku bakal banyak berdiam di dalam kamar sambil mendengarkan lagu-lagu sedih, main game biar lupa semua, merokok sambil melamun seolah-olah sedang menjadi aktor yang beradegan sedih, atau mungkin hal-hal lain yang bisa timbul begitu saja. Lalu apa yang saya lakukan ketika hari itu tiba? Padahal tidak ada persiapan dalam bentuk apa pun.

Menyesal dan kecewa, mungkin itu perasaan yang paling mendominasi. Ini wajar. Asal jangan sampai berharap waktu akan kembali dan ini semua hanya mimpi, sebuah pemikiran yang terbodohi. Aku harus melakukan sesuatu. Mulailah aku putar otak ini sambil mencoba menenangkan hati. Apa yang aku lakukan?

Mencari pohon lain, aku pikir pilihan ini tidak perlu. Kita tidak perlu lari mencari kenyamanan dari orang lain. Itu hanya penyelesaian yang tidak bermakna. Yang kita perlukan hanyalah mendaki, ya mendaki. Apa bedanya? Ketika kita mencari pelarian, kita cenderung mengarahkan diri kita ke tempat yang hanya sejajar dengan posisi kita sekarang, kita cenderung tidak mau merefleksi apa yang telah kita perbuat sebelumnya, kita cenderung tidak mau menerima tantangan yang ada, tidak bertanggungjawab terhadap kegagalan kita, dan lebih parah lagi kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk belajar. Namun ketika berusaha mendaki, kita berusaha mencapai tempat yang lebih tinggi, satu titik tujuan kita, puncak gunung. Orang yang mendaki gunung, mereka tidak melakukannya dengan berlari, tapi berjalan. Melambatkan langkah untuk menunggu teman pendakian, dan mempercepat langkah untuk menyusul ketertinggalan. Dengan berjalan kita bisa lebih leluasa menikmati anugrah Tuhan yang luar biasa dan mensyukurinya, kita bisa bertemu dan berkenalan dengan pendaki lain yang mungkin sedang berhenti sejenak untuk beristirahat atau mereka yang tengah menuruni gunung setelah mengalami perjalanan panjang dan mensyukuri indahnya puncak gunung. Kita pun dengan lebih leluasa untuk berpikir, berpikir, berpikir, dan melihat diri kita. Bandingkan dengan kita berlari, kita hanya akan fokus pada tujuan tanpa ada pemaknaan dari setiap langkah kita, kita hanya akan fokus pada seberapa besar energi yang kita habiskan dan berapa lagi yang akan kita butuhkan. Sebaiknya kita tenang, berpikir, melangkah, dan bertindak dengan lebih baik lagi.

Pemikiran ini lah yang menjadikanku kuat menahan beban tumbangnya pohon tersebut. Sejenak aku mencurahkan untuk kontemplasi. Dan luar biasa aku bisa menemukan apa yang selama ini telah termarjinalkan dari pikiranku. Hobiku, membaca dan menulis yang sempat terlupakan dari aku mulai masuk bangku kuliah. Selain itu, timbul hasrat untuk belajar ilmu filsafat dan psikologi. Tiba-tiba muncul banyak angan-angan dan aku realisasikan yang mungkin bisa aku realisasikan. Aku pikir ini bukanlah pelarian dari rasa bersedih dan menyesal, tapi ini adalah pendakian dalam menjawab tantangan perasaan itu. Berpikir positif, dan meraih manfaat dengan meraih puncak gunung yang indah dan berkabut ilmu-ilmu yang mencerahkan.

Sesuai dengan konsep Organizational Development and Change, wajar jika setiap perubahan yang terjadi akan membutuhkan masa-masa transisi, yaitu ketika kinerja kita turun karena penyesuaian terhadap kondisi yang baru. Dari kita bersama menjalin hubungan asmara, kemudian berubah menjadi kita sendirian tanpa ada sang kekasih, tidak terikat pada hubungan asmara lagi. Aku sadari ini memang butuh masa penyesuaian, ditandai dengan kita enggan melakukan apa-apa dan hanya berdiam penuh penyesalan. Banyak orang yang gagal ketika menghadapi kondisi ini, mereka memilih lari dan gagal melakukan sebuah perubahan. Manusia butuh untuk berubah, seperti bumi yang terus berputar dan berubah. Hanya saja, perubahan itu harus diarahkan ke arah yang positif. 

Hari dimana aku mengalami masa transisi itu, adalah beberapa jam setelah pohon itu tumbang. Aku merasa terpuruk dan tidak tahu ke mana lagi akan melangkah. Namun, Tuhan Maha Penyayang dan Tuhan Maha Mengetahui. Berangsung-angsur keadaan itu mulai membaik. Ini berkat pemikiran yang positif yang aku lakukan berulang-ulang dan menyandarkan lemahnya tubuh ini kepada Tuhan Yang Kuat. Inilah momen itu, aku tak boleh menyerah pada titik ini. Aku pasti malu kepada diriku ini yang menginginkan sebuah proses pendewasaan diri. Dan kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan bagiku untuk berlatih menjadi manusia yang lebih kuat.

Maka aku sibukkan diriku dengan temuan pemikiranku, mulai aktif mencari buku-buku yang menginspirasi, menulis apa yang ada di setiap pikiran dan perasaanku dan berbagi dengan orang lain dengan penuh tanggungjawab, meningkatkan kualitas keimananku, dan mulai bergaul dengan orang-orang yang mampu membawa suasana positif daripada hanya dengan mereka yang mencoba memberikan solusi tempat pelarian yang membutakan. Ini adalah momentum yang penting dalam hidupku, sebuah momen kebangkitan dan pendewasaan diri. Aku mulai bisa memaknai positif dari setiap kejadian. Memotivasiku untuk meningkatkan kualitas hidup dan bertanggungjawab atas segala kesalahan.

Semua menjadi tampak indah dan bernilai. Aku bisa menikmati hidupku dengan lebih bermanfaat dan semakin berani bermimpi untuk meraih cita-cita, dan berbagi dengan orang-orang di sekitarku. Aku semakin tertantang untuk mencari ilmu dalam peningkatan kualitas hidupku. Menurutku inilah esensi dari hidup, berpikir dan berketuhanan. 

Lalu bagaimana dengan pohon yang telah tumbang itu? Mencari pohon yang lain agar kita tetap terindangi atau mencoba menegakkan pohon tersebut atau mencoba mencari sisa-sisa buah agar kita bisa menanam bijinya? Aku berharap Tuhan akan memberikan keajaiban yang memunculkan kesempatan bagiku untuk memperbaikinya. Tetapi paling tidak, aku harus berani berusaha. Aku melihat masih ada buah-buah dari pohon itu yang bisa aku tanam lagi bijinya. Semua akan nampak sama ketika aku berhenti pada titik itu saja. Aku berpikir untuk memberikan perlakuan yang berbeda, bernilai, dan unik. Aku mencoba memasang pagar disertai dengan tumbuhan rambat untuk menghiasinya. Kemudian aku tanam bunga-bunga kecil di sekitar pohon tersebut. Sehingga kumbang dan kupu-kupu pun mulai menari. Ditambah dengan alunan kicauan burung yang hinggap di pohon asmara tersebut sambil menyusun ranting demi ranting hingga terangkai sarang dimana sebuah kehidupan baru akan dimulai. Ketika pohon itu semakin besar dan berbuah. Aku akan mulai menanamkan bijinya ke tempat yang baru dan memberikan perlakuan yang sama dengan pohon itu pertama kalinya. Namun, pohon pertama lah yang aku banggakan dan terus aku singgahi, karena di sini lah aku memulai sebuah kehidupan baru, sebuah perbaikan dan pengembangan diri dan hubungan. Aku akan menghabiskan berjam-jam hariku di bawah pohon itu. Berpikir, berkarya, dan melakukan kontemplasi sambil menikmati ciptaan Tuhan yang bisa kita lestarikan. Dan tak lupa untuk menuliskan guratan memori indah pada batang pohon itu. Inin adalah sebuah mimpi yang indah, imajinasi bebas yang menentramkan dan menyejukkan. 

Aku kadang tersadar, selama ini aku belum cukup menjadi pribadi yang baik, aku belum bisa menunjukkan padanya sebuah nilai, dan kami belum saling belajar. Aku berharap semua bakal membaik, aku berharap aku bisa berbuat lebih untuk membuatnya percaya lagi, aku berharap aku bisa menunjukkan apa yang aku rasakan agar dia mau mengerti, aku berharap aku bisa memberikan yang terbaik dan bermanfaat baginya. Tapi semua itu tidak akan aku paksakan, biar Tuhan yang menentukan, aku hanya berusaha sebaik mungkin yang aku bisa dan menjaga niat baik ini sampai kapanpun.

Setiap hubungan yang kita jalin, hendaknya menjadikan kita menjadi manusia yang berkembang. Tak perlu kita paksakan keinginan kita, menegakkan pohon dengan sekuat tenaga. Kita bisa mencari sisa-sisa kehidupan dan mulai  mengembangkannya, memperindahnya, dan membagikannya. Artinya kita bisa memulai lagi segalanya dengan setiap perbaikan dan keikhlasan untuk mencapai kualitas hubungan yang tinggi. Setiap hubungan yang indah memang akan sangat menyenangkan bagi orang yang terjalin, namun akan lebih indah jika kita bisa berbagi kebahagiaan tersebut dengan orang-orang di sekitar kita dan lingkungan di mana kita berpijak. Tak perlu kita berlari, tetapi berjalanlah dan nikmati hidup ini dengan segala manfaat yang terkandung di dalamnya. Ini merupakan pemaknaan yang besar dan luar biasa yang aku dapatkan dengan berpikir positif dari setiap kejadian, bekerja keras, pantang menyerah, koreksi, dan bersyukur atas segala karunia-Nya. Sungguh bahagia ketika kita menjadi manusia yang teraktualisasi oleh esensi hidup dan penyikapannya. Terima kasih ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu.

Am I Introvert?

Posted by Tony , 01.44

Kira-kira 2 minggu yang lalu, saya dan teman-teman saya sedang asik ngobrol di kantin “Bonbin” (kantinnya anak humaniora UGM). Karena alasan tertentu, saya menanggapi sikap temen saya, sebut aja namanya Amin, “Min, kamu cari temen dong makanya. Jangan cuma ngendon di kosan doang. Keliatan kayak ga punya temen aja sih.” Tapi, gimana respon si Amin? Dia bilang, “Ton, gini ya ton ya. Jujur gua (dia orang Jakarta) sakit ati lo bilang gitu. Tapi ga apa-apa gua bisa ngertiin itu. Mungkin ada yang lo belum ngerti tentang diri gua yang introvert ini.” Setelah itu dia memberi argumen yang menurutku itu cukup kuat dan cukup membuat saya terdiam seketika.

            Mungkin semua sudah tahu, orang Indonesia menerjemahkan introvert itu sebagai sifat tertutup. Teman saya, berdasarkan artikel yang dia baca, mengingatkan saya agar membedakan antara introvert karena MALU dan introvert karena emang bener-bener introvert (bawaan sejak lahir mungkin yang dia maksud). Introvert karena malu itu adalah level terendah, pecundang, seperti yang dia bilang. Jadi, ga perlu dibahas. Kalau yang bener-bener introvert, mereka dibilang penyendiri bukan karena malu. Lalu kenapa? Mereka cenderung menghabiskan “energinya” ketika mereka bersosialisasi dengan orang lain, tidak seperti orang extrovert yang justru mendapatkan “energi” ketika mereka bersosialisasi. Ketika energi si introvert habis, maka mereka membutuhkan waktu buat sendiri untuk men-charge “energi” mereka. Bahkan mereka membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk men-charge dibandingkan waktu menghabiskannya . Namun, saya kurang mampu memahami ini karena konsep di atas kadang-kadang saja terjadi sama saya, tidak setiap saat seperti itu. Mungkin saya butuh pemahaman yang lebih mengenai hal ini.

            Teman saya juga bilang, orang-orang introvert sangat bisa mengekspresikan dirinya ketika dia sedang sendiri dibandingkan ketika di depan umum. Sesaat saya langsung berpikir. Maaaann… kadang saya juga merasakan yang seperti ini. Saat sendiri, saya bisa saja menjadi gila, atau senyum-senyum sendiri ketika sedang bahagia, bahkan lypsinc seekspresif seperti Briptu Norman pun sering terjadi ketika saya begitu menikmati sebuah lagu. Mungkin selama ini properti di kamar saya sudah memahami siapa diri saya yang sebenarnya, karena mereka menjadi saksi bisu ketika saya asik sendiri. Sering kali saya berpikir kalau saya ini memang orang introvert. Dan saya malu mengakuinya, saya merasa bersalah memiliki sifat seperti itu, dan saya berusaha menjadi orang-orang yang mendapatkan label sebagai orang-orang yang extrovert.



            Saya mencoba mencari informasi di internet, ya pasti taulah caranya gimana. Siapa lagi kalau bukan lewat om Google. Akhirnya saya mendapatkan beberapa jawaban. Oke, menurut Nancy Ancowitz, seorang pelatih komunikasi bisnis di New York, orang-orang yang introvert cenderung  memiliki kelebihan menjadi pendengar dan penulis yang baik, memiliki kemampuan dalam melakukan penelitian dan analisis, terfokus dan kuat dalam berpikir, problem solver yang baik, dan cenderung untuk membangun kuat hubungan satu-lawan-satu. Blaarrr… I got it! Inilah saya. Walaupun sampai saat saya belum menyadari sebagai problem solver yang baik, tapi menurut saya kecenderungan itu uda cukup buat mewakili diri saya. So, am I introvert? So far, yes.. Saya coba mencari berbagai informasi yang lain dan menemukan hasil yang hampir sama. Lalu saya mendapatkan sebuah formulir self assesment untuk mengukur (saya ga tau ini alat ukur yang valid apa tidak) apakah kita introvert atau ekstrovert yang berisi dengan berbagai pertanyaan dengan pilihan jawaban benar salah. Saya coba jawab itu satu per satu. Finally, menurut pengukuran itu, saya memang orang introvert. Cukup dengan memahami bagaimana introvert itu, tanpa menggunakan self assesment itu, saya juga sudah bisa menilai diri saya sebagai orang introvert. Dan satu lagi yang terpenting, saya tetaplah manusia, jadi saya tetap membutuhkan sosialisasi dan butuh teman. Saya tetap membutuhkan perhatian dan saya membutuhkan orang untuk diperhatikan. Hanya saja, saya melakukan dengan cara yang berbeda dengan orang extrovert. Saya juga tidak tak merasa nyaman untuk bersosialisasi dengan orang extrovert. Kita memiliki kelebihan, kekurangan, dan keunikan masing-masing, dan akan menjadi sangat indah ketika bisa saling memahami dan melengkapi. So, kita ga perlu takut mengakui diri kita kalau kita introvert, introvert bukan sifat yang terjustifikasi salah!

            Sebagai orang introvert, saya tidak malu lagi mengakuinya, saya tidak merasa bersalah lagi. Introvert-extrovert, tidak ada yang lebih baik, tidak ada lebih buruk, tetapi hanya berbeda saja. Kenapa ada orang yang malu mengakui? Mungkin karena jumlah extrovert lebih banyak (bahkan sampai 3 kali) daripada si introvert. Dan saya yakin, di antara orang-orang extrovert itu ada yang “palsu”, yaitu orang-orang yang dengan terpaksa menjadikan dirinya yang introvert sebagai si extrovert. Terpalsukan dan terbohongi sekali orang-orang semacam ini.

            Ada pelajaran dibalik ini semua. Sebagai manusia, kita tercipta berbeda dengan orang lain, dengan orang-orang di sekitar kita. Sebaiknya kita memahami dengan jelas dan baik apa yang kita miliki dan tidak kita miliki, lalu membandingkannya dengan orang lain (membandingkan dalam artian positif ya). Kemudian, kita manfaatkan potensi besar di dalam diri kita, dan jangan berusaha menjadi apa yang dimiliki orang lain, tanpa memahami diri kita terlebih dahulu. Jadi, be yourself aja deh (jujur saya bosan sekali menyebut kalimat yang sering disebutkan banyak orang ini, tapi paling tidak itu benar sekali kok). Dan satu lagi, sebaiknya kita mengikuti petuah-petuah berharga yang memberikan nasihat agar kita bisa mengenali diri kita sendiri dan memanfaatkannya dengan optimal.

Welcoming the Imagination

Posted by Tony , 01.34


Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Selamat datang, pembaca yang bijak dan termotivasi untuk berilmu.

Akhirnya dimulai juga, sebuah hasrat dan pemuasan diri yang tertunda dalam jangka waktu yang lama, 5 tahun.


Menulis, merupakan hobi atau entah apa namanya yang mulai merasuki jiwa dan pikiran ketika saya lulus dari SMA. Menurut KBBI Edisi III (2005), hobi adalah kegemaran; kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Yah, dengan merujuk makna kata hobi itu, maka saya berpendapat bahwa menulis adalah hobi saya, walaupun tidak selalu menulis ketika ada waktu senggang. Bahkan saya bukan orang yang konsisten dengan menulis (kecuali menulis tugas). Saya pernah berhenti dalam jangka waktu yang lama dan saya hanya akan menulis (sekali lagi bukan dalam artian menulis untuk memenuhi tugas kuliah) ketika saya mau, ada motivasi, ada media, ada ide, dan ada-ada aja alasannya. J


Hobi ini mungkin timbul karena saya pernah (dan masih) tertarik untuk membaca buku tentang motivasi diri. That's right! Ketika kita mengagumi hasil karya orang lain, maka ada kecenderungan kita memiliki keinginan untuk menjadi seperti orang yang kita kagumi itu, bahkan menjadi lebih baik lagi, terutama untuk orang yang perfeksionis seperti saya ini. Lima tahun saya memuaskan diri dengan menulis, namun baru kali ini saya nge-post di blog. Why? Malu? Rendah diri? Tidak mau pamer? Tidak mau berbagi? Bukan karena itu semua, tapi sekali lagi saya adalah seorang yang perfeksionis namun masih labil dalam menilai suatu karya. Saya menulis, sebagian besar karena saat itu saya sedang mengalami guncangan jiwa atau perubahan yang signifikan yang terjadi pada perasaan dan pikiran. Dan ketika membaca tulisan saya yang terakhir (ketika perasaan dan pikiran kembali tenang dan stabil), saya memiliki penilaian yang berbeda, seperti ada sensasi yang juga berbeda di sini. So, that's a bad writing dan saya enggan mem-post-nya dalam blog, karena saya ingin karya yang perfect. Saya adalah pengkhianat besar bagi karya saya sendiri, mereka saya buat sebaik mungkin, namun ketika di kemudian hari karya itu saya nilai buruk atau bosan, saya buang begitu saja, bahkan tidak tersisa sedikit pun dari recycle bin. Ada yang salah di sini, sebuah karya semakin mendekati perfect ketika ada revisi, editing, atau koreksi dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Semua terlanjur sudah, tidak ada sisa-sisa karya saya yang terdahulu, hanya tinggal sebuah sejarah yang tidak terdokumentasi.


http://sbelen.files.wordpress.com/2008/11/imagination_1.jpg

Entah kenapa sekitar 2 hari ini saya memiliki keinginan yang kuat untuk menulis, mungkin karena ada salah satu kejadian (24/4/2011) yang begitu mengguncang hati saya dan sempat membuat mental saya berada pada kondisi yang paling buruk selama 23 tahun 3 bulan saya hidup. Ketika pemikiran positif saya mulai mendesak, saya berpikir kalau saya harus melakukan yang besar, bermanfaat, dan berubah ke arah yang lebih baik. Salah satunya adalah menulis! Saya tidak berpikir ini adalah pelampiasan dan pelarian karena beban mental yang saya hadapi, tapi saya anggap ini adalah PENDAKIAN. Kenapa? Karena ini adalah langkah dalam mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi, ketika kita memuaskan diri kita dengan sesuatu yang bermakna dan ketika kita bisa mengaktualisasi diri kita masing-masing. Jadi, kejadian besar tersebut tidak saya jadikan alasan untuk menulis, tapi ini adalah pertanda bahwa momentum perubahan diri yang radikal telah dimulai. So why don’t I start this now!?
Saya punya pendapat sebagai berikut:

Kesalahan terbesar kita adalah begitu kita mendapatkan inspirasi, kita tidak langsung menindaklanjutinya. Namun, kita cenderung hanya menyimpannya di dalam ingatan dan menunggu hingga kita sampai di rumah untuk memikirkannya lagi, mempertimbangkan, memikirkannya, mempertimbangkan lagi dan begitu seterusnya. Hal ini justru mendistorsikan inspirasi tersebut menjadi inspirasi kelewat matang atau busuk. Inspirasi yang paling bernilai sesungguhnya tercipta seketika begitu inspirasi itu melintas di kepala.


Lalu apa bedanya dengan yang dulu? Kali ini harus saya tuangkan dalam channel yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Inilah yang memotivasi saya untuk tidak sembarangan dalam membuat karya, namun masih bersifat "saya". Dan ini juga merupakan tanggungjawab saya untuk berbagi apa yang saya rasakan dan bagaimana pendapat saya. Mungkin anda menilai bahwa blog ini hanyalah tong sampah tempat saya membuang curhatan saya, silakan. Namun ini bisa juga menjadi money box yang bisa menjadi tambahan tabungan anda dalam mempertimbangkan alternatif pendapat.


Oke, ini adalah pendahuluan yang panjang dan menjadikan motivasi bagi saya untuk melanjutkan ke langkah berikutnya. Mungkin karakteristik pola pemikiran saya yang bisa terdeteksi adalah beripikir positif, korektif, open mind, visioner, imajinatif, struggling, dan lainnya yang mungkin akan bisa anda temukan pada karya saya berikutnya. Sangat menyenangkan sekali jika dari karya saya, akan ada orang yang "bergulat" karena mereka memiliki pendapat yang berlawanan. Saya tunggu tantangan, koreksi, tambahan, dan dukungan dari teman-teman, karena itu semua adalah faktor penting dalam mengembangkan kemampuan saya dalam berkarya. Dan saya adalah “orang baru” dalam tulis menulis, jadi saya sangat senang ketika anda mengomentari gaya bahasa saya.


They said:

Ide yang melintas pertama kali dalam pikiranmu adalah sesuatu yang paling kuat – Bob Dylan

Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan – Albert Einstein

Aku tidak tahu apa-apa selain mempunyai keinginan yang kuat dari dalam diriku untuk mulai menulis suatu kebenaran imajinasi – John Keats



Sekian, pembaca yang termotivasi untuk berilmu.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.