Di Bawah Pohon Asmara

Posted by Tony , Minggu, 01 Mei 2011 01.55


http://www.naiwe.com/images/under-tree%28c%29Irochka-dt_3085501.jpg

Menjalin hubungan asmara dengan orang yang kita sayangi itu memang sangat menyenangkan. Seolah menerbangkan kita ke surga imajinasi di mana hanya ada kita dan pasangan kita yang sedang menanam benih-benih pohon asmara yang tak akan pernah tumbang. Namun, kita kadang melupakan dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Banjir besar, halilintar, angin topan, gempa bumi, dan bahkan gunung meletus akan sangat mudah menumbangkan pohon asmara tersebut seketika. Lalu apa yang akan kita lakukan ketika pohon itu tumbang? Mencari pohon yang lain agar kita tetap terindangi atau mencoba menegakkan pohon tersebut atau mencoba mencari sisa-sisa buah agar kita bisa menanam bijinya? Ini adalah sebuah pelajaran, pemaknaan, dan pilihan.

Sudah hampir seminggu semenjak tumbangnya pohon tersebut menimpaku. Menyesal? Jelas iya. Sedih? Itu wajar. Tegar? Harus. Belajar? Ini yang paling penting. Aku sempat memprediksi bahwa pohon itu akan tumbang sebenarnya. Tapi belum sempat terpikir apa yang akan aku lakukan jika telah datang masa itu. Mungkin aku bakal banyak berdiam di dalam kamar sambil mendengarkan lagu-lagu sedih, main game biar lupa semua, merokok sambil melamun seolah-olah sedang menjadi aktor yang beradegan sedih, atau mungkin hal-hal lain yang bisa timbul begitu saja. Lalu apa yang saya lakukan ketika hari itu tiba? Padahal tidak ada persiapan dalam bentuk apa pun.

Menyesal dan kecewa, mungkin itu perasaan yang paling mendominasi. Ini wajar. Asal jangan sampai berharap waktu akan kembali dan ini semua hanya mimpi, sebuah pemikiran yang terbodohi. Aku harus melakukan sesuatu. Mulailah aku putar otak ini sambil mencoba menenangkan hati. Apa yang aku lakukan?

Mencari pohon lain, aku pikir pilihan ini tidak perlu. Kita tidak perlu lari mencari kenyamanan dari orang lain. Itu hanya penyelesaian yang tidak bermakna. Yang kita perlukan hanyalah mendaki, ya mendaki. Apa bedanya? Ketika kita mencari pelarian, kita cenderung mengarahkan diri kita ke tempat yang hanya sejajar dengan posisi kita sekarang, kita cenderung tidak mau merefleksi apa yang telah kita perbuat sebelumnya, kita cenderung tidak mau menerima tantangan yang ada, tidak bertanggungjawab terhadap kegagalan kita, dan lebih parah lagi kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk belajar. Namun ketika berusaha mendaki, kita berusaha mencapai tempat yang lebih tinggi, satu titik tujuan kita, puncak gunung. Orang yang mendaki gunung, mereka tidak melakukannya dengan berlari, tapi berjalan. Melambatkan langkah untuk menunggu teman pendakian, dan mempercepat langkah untuk menyusul ketertinggalan. Dengan berjalan kita bisa lebih leluasa menikmati anugrah Tuhan yang luar biasa dan mensyukurinya, kita bisa bertemu dan berkenalan dengan pendaki lain yang mungkin sedang berhenti sejenak untuk beristirahat atau mereka yang tengah menuruni gunung setelah mengalami perjalanan panjang dan mensyukuri indahnya puncak gunung. Kita pun dengan lebih leluasa untuk berpikir, berpikir, berpikir, dan melihat diri kita. Bandingkan dengan kita berlari, kita hanya akan fokus pada tujuan tanpa ada pemaknaan dari setiap langkah kita, kita hanya akan fokus pada seberapa besar energi yang kita habiskan dan berapa lagi yang akan kita butuhkan. Sebaiknya kita tenang, berpikir, melangkah, dan bertindak dengan lebih baik lagi.

Pemikiran ini lah yang menjadikanku kuat menahan beban tumbangnya pohon tersebut. Sejenak aku mencurahkan untuk kontemplasi. Dan luar biasa aku bisa menemukan apa yang selama ini telah termarjinalkan dari pikiranku. Hobiku, membaca dan menulis yang sempat terlupakan dari aku mulai masuk bangku kuliah. Selain itu, timbul hasrat untuk belajar ilmu filsafat dan psikologi. Tiba-tiba muncul banyak angan-angan dan aku realisasikan yang mungkin bisa aku realisasikan. Aku pikir ini bukanlah pelarian dari rasa bersedih dan menyesal, tapi ini adalah pendakian dalam menjawab tantangan perasaan itu. Berpikir positif, dan meraih manfaat dengan meraih puncak gunung yang indah dan berkabut ilmu-ilmu yang mencerahkan.

Sesuai dengan konsep Organizational Development and Change, wajar jika setiap perubahan yang terjadi akan membutuhkan masa-masa transisi, yaitu ketika kinerja kita turun karena penyesuaian terhadap kondisi yang baru. Dari kita bersama menjalin hubungan asmara, kemudian berubah menjadi kita sendirian tanpa ada sang kekasih, tidak terikat pada hubungan asmara lagi. Aku sadari ini memang butuh masa penyesuaian, ditandai dengan kita enggan melakukan apa-apa dan hanya berdiam penuh penyesalan. Banyak orang yang gagal ketika menghadapi kondisi ini, mereka memilih lari dan gagal melakukan sebuah perubahan. Manusia butuh untuk berubah, seperti bumi yang terus berputar dan berubah. Hanya saja, perubahan itu harus diarahkan ke arah yang positif. 

Hari dimana aku mengalami masa transisi itu, adalah beberapa jam setelah pohon itu tumbang. Aku merasa terpuruk dan tidak tahu ke mana lagi akan melangkah. Namun, Tuhan Maha Penyayang dan Tuhan Maha Mengetahui. Berangsung-angsur keadaan itu mulai membaik. Ini berkat pemikiran yang positif yang aku lakukan berulang-ulang dan menyandarkan lemahnya tubuh ini kepada Tuhan Yang Kuat. Inilah momen itu, aku tak boleh menyerah pada titik ini. Aku pasti malu kepada diriku ini yang menginginkan sebuah proses pendewasaan diri. Dan kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan bagiku untuk berlatih menjadi manusia yang lebih kuat.

Maka aku sibukkan diriku dengan temuan pemikiranku, mulai aktif mencari buku-buku yang menginspirasi, menulis apa yang ada di setiap pikiran dan perasaanku dan berbagi dengan orang lain dengan penuh tanggungjawab, meningkatkan kualitas keimananku, dan mulai bergaul dengan orang-orang yang mampu membawa suasana positif daripada hanya dengan mereka yang mencoba memberikan solusi tempat pelarian yang membutakan. Ini adalah momentum yang penting dalam hidupku, sebuah momen kebangkitan dan pendewasaan diri. Aku mulai bisa memaknai positif dari setiap kejadian. Memotivasiku untuk meningkatkan kualitas hidup dan bertanggungjawab atas segala kesalahan.

Semua menjadi tampak indah dan bernilai. Aku bisa menikmati hidupku dengan lebih bermanfaat dan semakin berani bermimpi untuk meraih cita-cita, dan berbagi dengan orang-orang di sekitarku. Aku semakin tertantang untuk mencari ilmu dalam peningkatan kualitas hidupku. Menurutku inilah esensi dari hidup, berpikir dan berketuhanan. 

Lalu bagaimana dengan pohon yang telah tumbang itu? Mencari pohon yang lain agar kita tetap terindangi atau mencoba menegakkan pohon tersebut atau mencoba mencari sisa-sisa buah agar kita bisa menanam bijinya? Aku berharap Tuhan akan memberikan keajaiban yang memunculkan kesempatan bagiku untuk memperbaikinya. Tetapi paling tidak, aku harus berani berusaha. Aku melihat masih ada buah-buah dari pohon itu yang bisa aku tanam lagi bijinya. Semua akan nampak sama ketika aku berhenti pada titik itu saja. Aku berpikir untuk memberikan perlakuan yang berbeda, bernilai, dan unik. Aku mencoba memasang pagar disertai dengan tumbuhan rambat untuk menghiasinya. Kemudian aku tanam bunga-bunga kecil di sekitar pohon tersebut. Sehingga kumbang dan kupu-kupu pun mulai menari. Ditambah dengan alunan kicauan burung yang hinggap di pohon asmara tersebut sambil menyusun ranting demi ranting hingga terangkai sarang dimana sebuah kehidupan baru akan dimulai. Ketika pohon itu semakin besar dan berbuah. Aku akan mulai menanamkan bijinya ke tempat yang baru dan memberikan perlakuan yang sama dengan pohon itu pertama kalinya. Namun, pohon pertama lah yang aku banggakan dan terus aku singgahi, karena di sini lah aku memulai sebuah kehidupan baru, sebuah perbaikan dan pengembangan diri dan hubungan. Aku akan menghabiskan berjam-jam hariku di bawah pohon itu. Berpikir, berkarya, dan melakukan kontemplasi sambil menikmati ciptaan Tuhan yang bisa kita lestarikan. Dan tak lupa untuk menuliskan guratan memori indah pada batang pohon itu. Inin adalah sebuah mimpi yang indah, imajinasi bebas yang menentramkan dan menyejukkan. 

Aku kadang tersadar, selama ini aku belum cukup menjadi pribadi yang baik, aku belum bisa menunjukkan padanya sebuah nilai, dan kami belum saling belajar. Aku berharap semua bakal membaik, aku berharap aku bisa berbuat lebih untuk membuatnya percaya lagi, aku berharap aku bisa menunjukkan apa yang aku rasakan agar dia mau mengerti, aku berharap aku bisa memberikan yang terbaik dan bermanfaat baginya. Tapi semua itu tidak akan aku paksakan, biar Tuhan yang menentukan, aku hanya berusaha sebaik mungkin yang aku bisa dan menjaga niat baik ini sampai kapanpun.

Setiap hubungan yang kita jalin, hendaknya menjadikan kita menjadi manusia yang berkembang. Tak perlu kita paksakan keinginan kita, menegakkan pohon dengan sekuat tenaga. Kita bisa mencari sisa-sisa kehidupan dan mulai  mengembangkannya, memperindahnya, dan membagikannya. Artinya kita bisa memulai lagi segalanya dengan setiap perbaikan dan keikhlasan untuk mencapai kualitas hubungan yang tinggi. Setiap hubungan yang indah memang akan sangat menyenangkan bagi orang yang terjalin, namun akan lebih indah jika kita bisa berbagi kebahagiaan tersebut dengan orang-orang di sekitar kita dan lingkungan di mana kita berpijak. Tak perlu kita berlari, tetapi berjalanlah dan nikmati hidup ini dengan segala manfaat yang terkandung di dalamnya. Ini merupakan pemaknaan yang besar dan luar biasa yang aku dapatkan dengan berpikir positif dari setiap kejadian, bekerja keras, pantang menyerah, koreksi, dan bersyukur atas segala karunia-Nya. Sungguh bahagia ketika kita menjadi manusia yang teraktualisasi oleh esensi hidup dan penyikapannya. Terima kasih ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu.

0 Response to "Di Bawah Pohon Asmara"